Keraton Sambas
Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas terletak di daerah pertemuan sungai pada bidang tanah yang berukuran sekitar 16.781 meter persegi membujur arah barat-timur.
Pada bidang tanah ini terdapat beberapa buah bangunan, yaitu dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar, dua buah gerbang, dua buah paseban, kantor tempat sultan bekerja, bangunan inti keraton (balairung), dapur, dan masjid sultan.
Bangunan keraton menghadap ke arah barat ke arah sungai Sambas. Ke arah utara dari dermaga terdapat Sungau Sambas Kecil, dan ke arah selatan terdapat Sungai Teberau. Di sekeliling tanah keraton merupakan daerah rawa-rawa dan mengelompok di beberapa tempat terdapat makam keluarga sultan.
Bangunan keraton yang lama dibangun oleh Sultan Bima pada tahun 1632 (sekarang telah dihancurkan), sedangkan keraton yang masih berdiri sekarang dibangun pada tahun 1933. Sebagai sebuah keraton di tepian sungai, di mana sarana transportasinya perahu/ kapal, tentunya di tepian sungai dibangun dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar. Dermaga yang terletak di depan keraton dikenal dengan nama jembatan Seteher. Jembatan ini menjorok ke tengah sungai. Dari dermaga ini ada jalan yang menuju keraton dan melewati gerbang masuk.
Gerbang masuk yang menuju halaman keraton dibuat bertingkat dua dengan denahnya berbentuk segi delapan dan luasnya 76 meter persegi. Bagian bawah digunakan untuk tempat penjaga dan tempat beristirahat bagi rakyat yang hendak menghadap sultan, dan bagian atas digunakan untuk tempat mengatur penjagaan.
Selain itu, bagian atas pada saat-saat tertentu digunakan sebagai tempat untuk menabuh gamelan agar rakyat seluruh kota dapat mendengar kalau ada keramaian di keraton.
Setelah melalui pintu gerbang yang bersegi delapan, di tengah halaman keraton dapat dilihat tiang bendera yang disangga oleh empat batang tiang. Tiang bendera ini melambangkan sultan, dan tiang penyangganya melambangkan empat pembantu sultan yang disebut wazir. Di bagian bawah tiang bendera terdapat dua pucuk meriam, dan salah satu di antaranya bernama Si Gantar Alam.
Sebelum memasuki keraton, dari halaman yang ada tiang benderanya, kita harus melalui lagi sebuah gerbang. Gerbang masuk ini juga terdiri dari dua lantai, tetapi bentuk denahnya empat persegi panjang. Lantai bawah tempat para penjaga yang bertugas selama 24 jam, sedangkan lantai atas dipakai untuk keluarga sultan beristirahat sambil menyaksikan aktivitas kehidupan rakyatnya sehari-hari.
Setelah melalui gerbang kedua dan pagar halaman inti, sampailah pada bangunan keraton.
Di dalam kompleks keraton terdapat tiga buah bangunan. Di sebelah kiri bangunan utama terdapat bangunan yang berukuran 5 x 26 meter. Pada masa lampau bangunan ini berfungsi sebagai dapur dan tempat para juru masak keraton. Di sebelah kanan bangunan utama terdapat bangunan lain yang ukurannya sama seperti bangunan dapur. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat Sultan dan pembantunya bekerja. Dari bangunan tempat Sultan bekerja dan bangunan utama keraton dihubungkan dengan koridor beratap dengan ukuran panjang 5,90 meter dan lebar 1,50 meter.
Di bagian dalam bangunan tempat Sultan dan pembantunya bekerja, tersimpan beberapa benda pusaka kesultanan, di antaranya singgasana kesultanan, pedang pelantikan Sultan, gong, tombak, payung kuning yang merupakan lambang kesultanan, dan meriam lele. Meriam lele yang jumlahnya tujuh buah hingga sekarang masih dianggap barang keramat dan sering diziarahi penduduk. Masing-masing meriam yang berukuran kesil ini mempunyai nama, yaitu Raden Mas, Raden Samber, Ratu Kilat, Ratu Pajajaran, Ratu Putri, Raden Pajang, dan Panglima Guntur.
Bangunan utama keraton berukuran 11,50 x 22,60 meter. Terdiri atas tujuh ruangan, yaitu balairung terletak di bagian depan, kamar tidur sultan, kamar tidur istri sultan, kamar tidur anak-anak sultan, ruang keluarga, ruang makan, dan ruang khusus menjahit. Di bagian atas ambang pintu yang menghubungkan balairung dan ruang keluarga, terdapat lambang Kesultanan Sambas dengan tulisan “Sultan van Sambas” dan angkatahun 15 Juli 1933. Angka tahun ini merupakan tanggal peresmian bangunan keraton.
Di bagian dalam bangunan ini, pada kamar tidur Sultan tersimpan barang-barang khazanah Kesultanan Sambas, di antaranya tempat peraduan sultan, pakaian kebesaran, payung kesultanan, pedang, getar, puan, dan meja tulis Sultan. Pada bagian dinding terpampang gambar-gambar keluarga Sultan yang pernah memerintah Sambas.
RIWAYAT KESULTANAN DAN PARA SULTAN SAMBAS
1. Sultan Muhammad Syafiuddin 1631-1668
2. Sultan Muhammad Tajuddin 1668-1708
3. Sultan Umar Akamuddin I 1708-1732
4. Sultan Abubakar Kamaluddin 1732-1762
5. Sultan Umar Akamuddin II 1762-1786
6. Sultan Achmad Tajuddin 1786-1793
7. Sultan Abubakar Tajuddin 1793-1815
8. Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I 1815-1828
9. Sultan Usman Kamaluddin 1828-1830
10. Sultan Umar Akamuddin III 1830-1846
11. Sultan Abubakar Tajuddin II 1846-1855
12. Sultan Sultan Umar Kamaluddin 1855-1866
13. Sultan Muhammad Syafiuddin II 1866-1922
14. Sultan MuhammadAli Syafiuddin II 1922-1926
15. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin 1931-1943
ASAL MULA KESULTANAN SAMBAS
1.Perjalanan sejarah sambas
Sejak tanggal 15 juli 1999,kota Sambas telah kembali bangkit menjadi ibukota Kabupaten Sambas.Sebelumnya,kotaSambas hanya menjadi ibukota kecamatan,salah satu kecamatan dalam kabupaten Daerah Tingkat II sambas yang beribukota di Singkawang (sejak tahun 1957-1999).
Kalau kita lihat ke belakang,sejarah kesultanan Sambas,adalah sebuah kerajaan kesultanan besar di Kalimantan maupun di nusantara Indonesia.Kesultanan Sambas terkenal besar sejak sultan sambas yang pertamal Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631-1668).Kejayaan kesultanan sambas telah membesarkan nama negri Sambas,sampai pada Sultan Sambas ke-15 yaitu Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943).Kerajaan Sambas sirna ketika Sultan ke-15 ini wafat karena ditangkap dan di bunuh oleh tentara pendudukan jepang tahun 1943.Kekejaman facisme jepang meruntuhkan kejayaan Sambas.
Nama dan kejayaan Sambas sesungguhnya tidak hanya dimulai dari Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631-1668).Sejak abad ke-13 masehi sudah ada kekuasaan raja-raja Sambas.Bermula dari kedatangan prajurit majapahit di Paloh.Kemudian pusat kerajaan Sambas berpindah ke kota lama di Teluk keramat.Dari kota lama berpindah ke kota bangun di sungai Sambas Besar.Dari kota bangun pindah lagi ke kota Bandir dan kemudian pindah lagi ke Lubuk Madung.Konon menurut cerita,rombongan Raden Sulaiman pernah singgah di Tebas.Mereka sempat menebas daerah ini tetapi kumudian ditinggalkan.Dinamakanlah daerah itu tebas.
Barulah pada masa sultan sambas ke-2 yaitu Raden Bima gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668-1708) pusat Kesultanan Sambas dibangun di Muara Ulakan,di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil,sungai Subah dan sungai Tebarau.Sejak tahun 1668 Kota Sambas itu meliputi daerah Pemangkat, Singkawang dan daerah Sambas sendiri , yang kaya akan emas.
Sejak jaman pendudukan Jepang dan NICA (1942-1950),integritas Kerajaan Sambas telah sirna karena terlibat dengan pergolakan perang Dunia II.Ketika daerah Sambas atau Kalimantan Barat kembali bernaung dibawah Negara Kesatuan Repulik Indonesia pada tahun 1950, dan dibentuknya pemerintahan administrative Kabupaten Sambas, rakyat sambas sesungguhnya menuntut agar kota Sambas tetap menjadi ibukota kabupaten Sambas.Keinginan rakyat Sambas ini adalah sebagai upaya melanjutkan kembali kejayaan negri Sambas sejak pemerintahan para Sultan Sambas dari tahun 1631-1943.
Allhamdullillah, keinginan rakyat sambas menjadikan kota sambas sebagai ibukota Kabupaten Sambas terwujud juga sejak tanggal 15 juli 1999.Pemerintahan kabupaten Sambas berkedudukan di kota Sambas, yang telah sirna sejak tahun 1943-1999,lima puluh tahun kemudian.
2.Purba sejarah Sambas
Riwayat kerajaan dan para Sultan Sambas berdasarkan catatan tertulis dan benda peninggalan secara jelas dimulai pada awal berdirinya kesultanan islam Sambas pada awal abad ke-17.Sumber tertulis utama tentang kesultanan Sambas,adalah tulisan Sultan Muhammad Syafiuddin II berjudul “Silsilah Raja-raja Sambas” yang tertulis sendiri oleh Sultan Sambas ke-13 itu pada bulan Desember 1903.
Sumber tertulis utama dari Negara Brunai Darussalam adalah kitab “Silsilah Raja-Raja Brunai”.Sumber sejarah kesultanan Sambas berkaitan dengan kerajaan Brunai telah diterbitkan dalam tiga buah buku oleh Pusat sejarah Brunai.Ketiga buku tersebut adalah:
1. “Tarsilah Brunai,sejarah awal dan perkembangan islam”(thn 1990).
2. “Raja tengah, Sultan Serawak Pertama dan Terakhir”(thn 1995).
3. “Tarsilah Brunai, Zaman kegemilangan dan Kemashuran”(thn 1997).
Didalam sejarah Raja-raja Brunai maupun Silsilah Raja-Raja Sambas, riwayat kesultana Sambas dijelaskan mulai masa Raja tengah,Raja Serawak yang selam 40 thn berada di Sukadana dan Sambas (1600-1641).Raden Sulaiman adalah putera Raja Tengah dari perkawinan Raja Tengah dgn Puteri Surya Kusuma,puteri sultan Matan/Sukadana,Sultan Muhammad Syafiuddin.Kemudian Raden Sulaiman adalah Sultan Sambas pertama: 1631-1668.
Namun Sejarah Sambas sudah bermula jauh sebelum Raden Sulaiman berkuasa.Walaupun tidak didapatkan catatan tertulis tentang purba sejarah Sambas,dari catatan kerajaan Majapahit dan Kronik-kronik Kaisar Cina,disebutkan bahwa Sambas sudah ada sejajar dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan,Jawa,Sumatera,Malaka dan Brunai serta Kekaisaran Cina pada abad ke-13 dan ke-14.
Masa purba sejarah Sambas dan Kalimantan masih diliputi kabut ketidakpastian karena tidak banyak data dan informasi yang diperoleh.namun daerah bagian Barat Kalimantan telah banyak dikenal oleh para pelancong dan pedagang asing dari Cina,India dan Arab sejak abad ke-10.
Istana Alwatzikhoebillah di Sambas
Sejarah Istana Alwatzikhoebillah tidak terlepas dari sosok Sultan Tengah, seorang pangeran dari Kesultanan Brunei yang kemudian diangkat menjadi sultan di Kesultanan Serawak. Sejarah berawal ketika Sultan Tengah beserta rombongannya, setelah melakukan kunjungan persahabatan (muhibah) ke Kesultanan Johor, Malaysia, singgah di Kerajaan Matan, Tanjungpura. Di Matan, beliau disambut dengan hangat oleh raja Matan, Panembahan Giri Kusuma, yang di kemudian hari masuk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin (1631-1668). Sultan Tengah tertarik mendalami agama Islam pada Syekh Syamsuddin dari Mekah yang menyebarkan Islam di Matan. Tak lama kemudian, Sultan Tengah menikah dengan Ratu Surya Kusuma, adik Sultan Muhammad Syafiuddin.
Setelah beberapa lama tinggal di Matan, Sultan Tengah memboyong keluarganya ke Kota Bangun, yang berdekatan dengan Kota Lama, ibu kota Kerajaan Sambas. Di Kota Bangun ini, beliau melakukan dua hal penting yang kelak menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Sambas dan Istana Alwatzikhoebillah, yaitu menyebarkan agama Islam sampai ke Kota Lama dan menikahkan puteranya, Raden Sulaiman, dengan Mas Ayu Bungsu, puteri Ratu Sepudak dari Kerajaan Sambas. Konon, pada masa raja yang memiliki darah keturunan Majapaht inilah ibu kota Kerajaan Sambas dipindahkan dari Paloh ke Kota Lama.
Terbukti, strategi yang dijalankan Sultan Tengah tersebut berhasil, yaitu beralihnya Kerajaaan Sambas Hindu menjadi Kesultanan Islam dan diangkatnya Raden Sulaiman menjadi pembantu sultan (wazir). Namun karena sebuah fitnah, akhirnya Raden Sulaiman tersingkir dari Kota Lama dan kembali lagi ke Kota Bangun.
Setelah berhasil membangun Kota Bangun, bahkan lebih maju dari Kota Lama, keluarga Sultan Tengah yang dipimpin oleh Raden Sulaiman, memutuskan pindah ke Lubuk Madung, yang merupakan pertemuan Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan Sungai Teberau. Kemudian, di tempat itu didirikan Istana Alwatzikhoebillah dan di istana tersebut Raden Sulaiman dinobatkan sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin.
Namun, Istana Alwatzikhoebillah yang terlihat sekarang ini, baru dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943), sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Pembangunan istana tersebut relatif singkat, yaitu dari tahun 1933 sampai tahun 1935. Konon, biayanya yang mencapai 65.000 gulden itu merupakan pinjaman dari Kesultanan Kutai Kartanegara.
Sejak bulan Februari 2008, pemangku Istana Alwatzikhoebillah dipercayakan kepada Pangeran Ratu M. Tarhan Winata Kesuma.
Terbukti, strategi yang dijalankan Sultan Tengah tersebut berhasil, yaitu beralihnya Kerajaaan Sambas Hindu menjadi Kesultanan Islam dan diangkatnya Raden Sulaiman menjadi pembantu sultan (wazir). Namun karena sebuah fitnah, akhirnya Raden Sulaiman tersingkir dari Kota Lama dan kembali lagi ke Kota Bangun.
Setelah berhasil membangun Kota Bangun, bahkan lebih maju dari Kota Lama, keluarga Sultan Tengah yang dipimpin oleh Raden Sulaiman, memutuskan pindah ke Lubuk Madung, yang merupakan pertemuan Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan Sungai Teberau. Kemudian, di tempat itu didirikan Istana Alwatzikhoebillah dan di istana tersebut Raden Sulaiman dinobatkan sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin.
Namun, Istana Alwatzikhoebillah yang terlihat sekarang ini, baru dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943), sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Pembangunan istana tersebut relatif singkat, yaitu dari tahun 1933 sampai tahun 1935. Konon, biayanya yang mencapai 65.000 gulden itu merupakan pinjaman dari Kesultanan Kutai Kartanegara.
Sejak bulan Februari 2008, pemangku Istana Alwatzikhoebillah dipercayakan kepada Pangeran Ratu M. Tarhan Winata Kesuma.
Kuno tapi terawat dengan baik. Hijau dan sejuk. Begitulah kira-kira kesan yang muncul ketika menginjakkan kaki di Istana Alwatzikhoebillah Kesultanan Sambas ini. Untuk memasuki area istana, pengunjung akan melewati dua buah gapura. Gapura pertama merupakan pintu gerbang untuk memasuki alun-alun dan sekaligus pembatas jalan umum dengan area istana, sedangkan gapura kedua membatasi alun-alun dengan halaman istana.
Dari gapura pertama, pengunjung dapat melihat betapa rapinya tata letak seluruh bangunannya. Di sebelah kanan alun-alun, pengunjung dapat melihat keanggunan Masjid Jamiâ Sultan Syafiuddin, masjid Kesultanan Sambas. Di bagian belakang alun-alun, pengunjung dapat melihat sebuah tiang seperti tiang kapal yang dikelilingi oleh tiga buah meriam dan disangga oleh empat tiang. Secara filosofis, tiga meriam tersebut melambangkan tiga buah sungai yang terdapat di sekitar istana yang harus selalu dijaga. Empat tiang penyangganya melambangkan empat menteri sebagai pembantu sultan. Sedangkan dua tiang penyangga yang terletak di sisi kiri dan kanan tiang itu melambangkan bahwa dalam menjalankan roda pemerintahannya sultan selalu didampingi oleh ulama dan khatib.
Dari gapura kedua, pengunjung dapat melihat tiga bangunan istana dengan dominasi warna kuning sebagai warna khas Melayu yang melambangkan kewibawaan dan keluhuran budi pekerti. Persis di sisi kanan dan kiri gapura kedua, terdapat dua balai pertemuan yang dahulunya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu kehormatan sebelum bertemu dengan sultan. Sekarang, dua balai pertemuan tersebut difungsikan sebagai tempat bedug.
Bangunan utama istana terletak di tengah-tengah dan memiliki ukuran paling besar. Di sayap kiri dan kanannya, terdapat bangunan pendukung yang terhubung langsung dengan bangunan utama istana. Bangunan sayap kiri dahulunya digunakan sebagai tempat untuk menjamu tamu-tamu kehormatan, sedangkan bangunan sayap kanan digunakan untuk mempersiapkan segala keperluan sultan dan keluarganya. Sekarang, bangunan sayap kiri tersebut digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka kesultanan.
Bagian dalam istana terdiri dari tiga ruangan, yaitu ruangan depan, tengah, dan belakang. Ruangan depan merupakan tempat singgasana sultan dan permaisuri. Di sini, pengunjung dapat melihat foto-foto para sultan dan pakaian kebesaran kesultanan. Ruangan tengah terdiri dari empat kamar yang dahulunya merupakan kamar sultan dan keluarganya. Di ruangan ini, pengunjung dapat melihat foto-foto sultan bersama keluarganya, tamu-tamu kehormatan, dan acara-acara kesultanan. Sedangkan ruangan belakang yang berukuran paling kecil, terlihat kosong.
Selain itu, pengunjung dapat melihat bekas kolam pemandian keluarga sultan di samping kanan istana dan rumah kediaman keluarga sultan yang berada di belakang istana.
Pada sore hari, pengunjung akan berdecak kagum melihat pesona istana ini yang eksotik, apalagi dilihat dari atas perahu yang berjalan perlahan-lahan di atas Sungai Sambas Kecil.
Dari gapura pertama, pengunjung dapat melihat betapa rapinya tata letak seluruh bangunannya. Di sebelah kanan alun-alun, pengunjung dapat melihat keanggunan Masjid Jamiâ Sultan Syafiuddin, masjid Kesultanan Sambas. Di bagian belakang alun-alun, pengunjung dapat melihat sebuah tiang seperti tiang kapal yang dikelilingi oleh tiga buah meriam dan disangga oleh empat tiang. Secara filosofis, tiga meriam tersebut melambangkan tiga buah sungai yang terdapat di sekitar istana yang harus selalu dijaga. Empat tiang penyangganya melambangkan empat menteri sebagai pembantu sultan. Sedangkan dua tiang penyangga yang terletak di sisi kiri dan kanan tiang itu melambangkan bahwa dalam menjalankan roda pemerintahannya sultan selalu didampingi oleh ulama dan khatib.
Dari gapura kedua, pengunjung dapat melihat tiga bangunan istana dengan dominasi warna kuning sebagai warna khas Melayu yang melambangkan kewibawaan dan keluhuran budi pekerti. Persis di sisi kanan dan kiri gapura kedua, terdapat dua balai pertemuan yang dahulunya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu kehormatan sebelum bertemu dengan sultan. Sekarang, dua balai pertemuan tersebut difungsikan sebagai tempat bedug.
Bangunan utama istana terletak di tengah-tengah dan memiliki ukuran paling besar. Di sayap kiri dan kanannya, terdapat bangunan pendukung yang terhubung langsung dengan bangunan utama istana. Bangunan sayap kiri dahulunya digunakan sebagai tempat untuk menjamu tamu-tamu kehormatan, sedangkan bangunan sayap kanan digunakan untuk mempersiapkan segala keperluan sultan dan keluarganya. Sekarang, bangunan sayap kiri tersebut digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka kesultanan.
Bagian dalam istana terdiri dari tiga ruangan, yaitu ruangan depan, tengah, dan belakang. Ruangan depan merupakan tempat singgasana sultan dan permaisuri. Di sini, pengunjung dapat melihat foto-foto para sultan dan pakaian kebesaran kesultanan. Ruangan tengah terdiri dari empat kamar yang dahulunya merupakan kamar sultan dan keluarganya. Di ruangan ini, pengunjung dapat melihat foto-foto sultan bersama keluarganya, tamu-tamu kehormatan, dan acara-acara kesultanan. Sedangkan ruangan belakang yang berukuran paling kecil, terlihat kosong.
Selain itu, pengunjung dapat melihat bekas kolam pemandian keluarga sultan di samping kanan istana dan rumah kediaman keluarga sultan yang berada di belakang istana.
Pada sore hari, pengunjung akan berdecak kagum melihat pesona istana ini yang eksotik, apalagi dilihat dari atas perahu yang berjalan perlahan-lahan di atas Sungai Sambas Kecil.
Istana Alwatzikhoebillah terletak di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Kabupaten Sambas berjarak sekitar 225 kilometer di sebelah utara dari Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Pontianak, pengunjung dapat naik bus sampai Sambas dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Dari pusat Kota Sambas, pengunjung dapat naik bus atau minibus menuju Istana Alwatzikhoebillah
Di dalam terdapat cungkup khusus Sultan dan Permaisurinya ukuran 9,5 meter panjang dan lebar 7,5 meter.
Makam Sultan Abu Bakar
Makam Sultan Abubakar Tajuddin II Komplek makam ini terdapat dua makam yaitu makam Sultan sendiri bersama istri. Dibangun tahun 1883. Dan dipugar tahun 1985 oleh Depdikbud Prop. Kalbar
Makam Kesultanan
Makam Sultan Muhammad Syafiuddin II
Komplek makam ini mempunyai cungkup yang sangat besar dibangun tahun 1904 (makam besar) dibangu dari tiang bekas istana desa Tanjung Ranggas.
Pertama kali dimakamkan adalah Permaisuri Sultan. Dalam Cungkupini terdapat makam-makam keluarga sultan sebanyak 44 buah makam, sedang di sekitarnya masih banyak makam - makam antara lain : makam Ibunda Sultan Ratu Sabar, Ir.Sucitro yang membangun jembatan beton di sambas tahun 1939. dan makam Bupati Sambas ke-11 Drs. Saidi A.S. Cungkup makam besar ini berukuran 20 meter panjang dan 17,5 meter lebar.
Komplek makam ini mempunyai cungkup yang sangat besar dibangun tahun 1904 (makam besar) dibangu dari tiang bekas istana desa Tanjung Ranggas.
Pertama kali dimakamkan adalah Permaisuri Sultan. Dalam Cungkupini terdapat makam-makam keluarga sultan sebanyak 44 buah makam, sedang di sekitarnya masih banyak makam - makam antara lain : makam Ibunda Sultan Ratu Sabar, Ir.Sucitro yang membangun jembatan beton di sambas tahun 1939. dan makam Bupati Sambas ke-11 Drs. Saidi A.S. Cungkup makam besar ini berukuran 20 meter panjang dan 17,5 meter lebar.
Di dalam terdapat cungkup khusus Sultan dan Permaisurinya ukuran 9,5 meter panjang dan lebar 7,5 meter.
Makam Sultan Abu Bakar
Makam Sultan Abubakar Tajuddin II Komplek makam ini terdapat dua makam yaitu makam Sultan sendiri bersama istri. Dibangun tahun 1883. Dan dipugar tahun 1985 oleh Depdikbud Prop. Kalbar
0 komentar:
Posting Komentar